Mencari Solusi Perubahan Iklim: Dari Rio sampai Katowice

Pengantar

Perundingan perubahan iklim global telah berjalan hampir seperempat abad lamanya dan selalu diwarnai oleh negosiasi yang berjalan alot. Perundingan pertama yang dimulai tahun 1992 di Rio de Jainero masih harus berlanjut hingga sekarang. Perundingan yang terakhir telah selesai dilaksanakan pada bulan Desember tahun lalu di Katowice, Polandia, dan rencananya akan dilanjutkan lagi tahun 2019 ini di Chile. Seluruh pelaksanaan perundingan itu berada di bawah koordinasi Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang bermarkas besar di Bonn, Jerman.
Pertemuan puncak perubahan iklim sedunia di bawah UNFCCC disebut Conference of the Parties (COP), dan diselenggarakan setiap tahun di tempat yang berbeda. Indonesia pernah menjadi tuan rumah pertemuan yang ke 13 (COP13-UNFCCC) yang diselenggarakan di Bali pada tahun 2008. Dalam kurun waktu seperempat abad ini, paling tidak COP telah mencatat dua capaian penting (milestones). Milestone yang pertama adalah pada saat COP ke 3 di Jepang tahun 1997 yang menghasilkan kesepakatan Kyoto (Kyoto Protokol), dan yang kedua di Perancis pada saat COP ke 21 tahun 2015 dan menelurkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement).
Menurut para pengamat, terdapat dua kubu yang memandang masalah perubahan iklim ini seperti gelas yang diisi air. Kubu pertama, kelompok optimistik, melihat gelas itu terlihat setengah penuh; sedangkan kubu kedua, kelompok pesimistik, melihatnya seperti gelas setengah kosong. Namun para ilmuwan paham betul bahwa gelas itu sesungguhnya penuh, yaitu setengah gelas berisi air, dan setengahnya lagi berisi udara. Kelompok optimistik melihat kemajuan yang telah dicapai di Katowice itu positif, sementara kelompok pesimistik masih ragu dengan apa yang bisa dilakukan ke depan. Dengan demikian, hasil COP ke 24 Katowice itu perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu keberhasilan dan kegagalan pada satu tahap tidak dapat dievaluasi tanpa mempertimbangkan seluruh rangkaian perundingan sebelumnya dan telah berjalan hampir seperempat abad ini.

Mandatory vs. Voluntary
Perseteruan antara negara maju dan negara berkembang tidak pernah berhenti selama berlangsungnya perundingan perubahan iklim. Di dalam negosiasi UNFCCC, kelompok negara maju disebut Annex-1, dan kelompok negara berkembang disebut Non-Annex 1 Parties. Para negosiator dalam kenyataannya tidak bernegosiasi untuk kepentingan lingkungan global semata-mata, tetapi secara tersembunyi maupun terang-terangan selalu mengkaitkannya dengan kepentingan ekonomi, politik dan sosial negara dan atau kelompok negara yang diwakilinya. Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump, misalnya, tidak mau meratifikasi Paris Agreement yang dianggapnya merugikan kepentingan ekonomi AS. Padahal AS merupakan biang keladi pemanasan global karena emisinya yang terbesar di dunia setelah Tiongkok.
Dilihat dari sejarahnya, negara maju menjadi penanggung dosa terbesar penyebab terjadinya perubahan iklim. Revolusi industri yang terjadi pada abad 18 memicu pelepasan bahan bakar fosil secara besar-besaran sehingga konsentrasi CO2 di atmosfir meningkat dengan tajam dan memicu pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. Karena itu maka Kyoto Protocol mewajibkan (mandatory) negara maju untuk bertanggung jawab terhadap masalah ini, dan negara berkembang hanya membantunya sebagai voluntary saja.
Sementara itu, waktu berjalan terus, dan diketahuilah bahwa emisi dari negara berkembangpun terus meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi dan populasi penduduknya. Tiongkok yang saat ini menjadi bagian dari negara berkembang, adalah negara yang mengeluarkan emisi terbesar di dunia, sementara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat berada di bawah Tiongkok. Apabila penurunan emisi itu hanya dilakukan di negara maju saja, maka total emisi global masih akan terlalu banyak, dan temperatur bumi akan semakin bertambah panas, sehingga perubahan iklim terus berlanjut. Itulah sebabnya mengapa dalam Paris Agreement tahun 2015 disepakati bahwa penurunan emisi menjadi kewajiban (mandatory) seluruh negara, tanpa membedakan negara maju dengan negara berkembang, namun dengan tetap menerapkan pasal 4 UNFCCC, yaitu prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR).
Negosiasi perubahan iklim multilateral dalam kenyataannya sulit dilakukan, karena semua negara berusaha untuk melindungi kepentingan nasional mereka, termasuk kepentingan ekonomi, sosial dan politik. Itulah sebabnya mengapa komitmen yang dibuat di Paris dianggap sebagai terobosan yang berhasil. Kesepakatn itu, selain menetapkan target kenaikan suhu global 2 ° C / 1,5 ° C, juga termasuk komitmen untuk meningkatkan pembiayaan untuk perubahan iklim, dukungan keuangan dari negara-negara industri ke negara-negara berkembang, mengembangkan rencana mitigasi nasional pada tahun 2020 dengan tujuan dan target yang ditentukan sendiri; melindungi ekosistem, memperkuat adaptasi dan mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.
NDC dan Target 1.5
Masalah perubahan iklim terkait erat dengan dua ciri penting. Yang pertama, rentang waktu yang amat panjang (sekitar 50 sampai 100 tahun); dan yang kedua, sarat dengan argumentasi ilmiah. Kedua ciri ini terkait dengan kesepakatan para pihak yang diikrarkan di Paris (Paris Agreement) tiga tahun yang lalu. Seratus delapan puluh tujuh negara bersepakat untuk menahan kenaikan suhu global hingga di bawah 2° C di atas suhu jaman pra-industri, dan mengupayakan agar kenaikan suhu tersebut maksimal 1,5° C saja. Para ilmuan yang tergabung dalam Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (Inter governmental Panel on Climate Change -IPCC), kemudian menindak lanjuti kesepakatan Paris dengan membuat analisa dampak yang terjadi apabila kenaikan suhu ini dibatasi hanya 1,50 C saja dibandingkan suhu rata-rata jaman pra revolusi industri.
Laporan khusus yang cukup monumental dan dibuat pada tahun 2018 oleh para peneliti itu menyimpulkan bahwa target kenaikan suhu maksimal 1,50 C hanya dapat dicapai melalui komitmen utama, yaitu dengan mengurangi emisi pada tahun 2030 sebesar 45% dari level emisi tahun 2010, dan mencapai nol (bebas emisi) pada tahun 2050. Menurut IPCC (2014), total emisi global pada tahun 2010 adalah sebesar 37 ribu juta ton setara CO2, sehingga total emisi yang harus dikurangi pada tahun 2030 adalah sebesar lebih kurang 16,5 ribu juta ton setara CO2 .
Memperhatikan angka-angka di atas, jelaslah bahwa persoalan perubahan iklim sifatnya darurat krisis iklim. Laporan khusus IPCC itu memperjelas masalah yang tengah kita hadapi dan mempertegas perlunya bertindak sekarang untuk menghindari dampak perubahan iklim dalam kurun waktu 11-12 tahun ke depan (s/d 2030). Akan tetapi nampaknya respon Pemerintah di setiap negara dalam menanggapi krisis iklim ini dianggap kurang memadai.
Indonesia telah menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Sekretariat UNFCCC pada tahun 2016 sebagai bentuk komitmen Pemerintah untuk turut serta dalam upaya penurunan emisi GRK global. Selain itu, NDC juga merefleksikan tindakan yang akan dilakukan Indonesia dalam melakukan transisi ke pembangunan rendah emisi serta ketahanan iklim setelah tahun 2020. Berdasarkan NDC, penurunan emisi nasional difokuskan melalui sektor-sektor kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, pertanian, industri, dan limbah/sampah, sebagaimana dapat dilihat dalam table di bawah ini.

Menurut data NDC, saat ini sektor kehutanan dan gambut adalah kontributor utama emisi GRK Indonesia. Namun demikian, sektor energi akan menyusul secara signifikan dalam waktu 11 sampai 12 tahun ke depan. Hal ini wajar karena pertumbuhan penduduk dan PDB yang terus meningkat mengakibatkan konsumsi energi akan berkembang jauh lebih besar dibandingkan sektor kehutanan dan gambut. Menurut perhitungan NDC, bila tidak dilakukan tindakan apa-apa atau BAU (business as usual), emisi GRK dari sektor energi pada tahun 2030 akan mencapai 1669 juta ton setara CO2, atau naik hampir tiga kali lipat dibandingkan emisi tahun 2010; sementara pada tahun yang sama emisi dari sektor kehutanan dan gambut hanya akan mencapai 714 juta ton, atau naik hanya 10% saja dibandingkan emisi tahun 2010.

NDC baru akan dilaksanakan setelah tahun 2020, tetapi pemerintah Indonesia telah mempersiapkan implementasinya melalui berbagai kebijakan dan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara itu, BAPPENAS saat ini sedang mempersiapkan Peraturan Presiden tentang Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) yang akan memandu Kementerian/Lembaga Pemerintah dalam melaksanakan implementasi kebijakan pembangunan rendah karbon hingga 2045. Kemudian, Kementerian Keuangan mempersiapkan kebijakan-kebijakan fiskal perubahan iklim, termasuk penandaan anggaran (budget tagging), Green Sukuk, dan menelaah proposal-proposal yang akan diajukan ke Green Climate Fund); Selanjutnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral banyak terlibat dengan Kebijakan konservasi energi, energi terbarukan, dan efisiensi energi.

Oleh-oleh dari Katowice
Di Katowice, para pihak mencoba untuk menyepakati tentang bagaimana mereka akan mencapai komitmen Paris secara kolektif, membangun kepercayaan di antara masing-masing negara, dan membawa kesepakatan Paris untuk dilaksanakan secara konsekuen. Sesi terakhir dari perundingan perubahan iklim COP24 di Katowice telah ditunda beberapa kali karena lebih dari 100 Menteri dan lebih dari 1.000 negosiator mencoba untuk mengatasi perbedaan mereka tentang bagaimana ‘Rulebook of Paris’, akan diimplementasikan di setiap negara. Setelah melalui perdebatan yang sengit, Konperensi Perubahan Iklim Sedunia yang seharusnya selesai pada hari Jum’at tanggal 14 Desember 2018 itu, baru ditutup pada hari Minggu pagi jam 0.33 waktu setempat.
Walaupun diselingi dengan perdebatan yang alot, COP24 Katowice berhasil mendongkrak komitmen negara-negara maju untuk membantu implementasi Paris Agreement di negara-negara miskin dan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Di Katowice, untuk pertama kalinya mobilisasi dana Adaptasi menembus batas psikologis yaitu sebesar USD 100 juta. Jerman menjadi contoh negara maju yang melipat gandakan komitmen bantuannya, yaitu dari Euro 750 juta menjadi Euro 1,5 M per tahun sampai tahun 2020.
Sisi positif lainnya dalam perundingan kali ini adalah dihasilkannya kerangka kerja transparansi yang lebih baik untuk pelaporan emisi setiap negara, dan penilaian secara berkala yang disebut Global Stocktake untuk mengukur efektifitas pengurangan emisi tingkat nasional yang mulai berlaku tahun 2023.
Adapun sisi negatif perundingan Katowice adalah penolakan beberapa negara terhadap laporan IPCC yang menyebutkan dampak buruk yang akan terjadi apabila kenaikan suhu rata-rata dunia melebihi 1,50 C dibandingkan jaman pra revolusi industri. AS, Rusia, dan Arab Saudi mencoba untuk merusak gravitasi laporan ilmiah ini. Kegagalan lainnya adalah keberhasilan Brasil yang membatalkan rencana pasar karbon internasional. Selanjutnya, COP ke 24 ini juga telah gagal untuk mengatasi celah penghitungan karbon bio-energi, yang memberikan insentif pada pemanenan dan pembakaran pohon untuk menghasilkan energi dengan menyebut proses itu sebagai karbon netral.
Keberhasilan dan kegagalan dalam perundingan multilateral adalah hal yang biasa dihadapi dalam rangkaian COP seperti ini. Menyepakati bagaimana membuat semua hal di atas terjadi, adalah masalah yang kompleks secara politis dan teknis, yang kadang-kadang bertentangan dengan berbagai realitas di tingkat nasional dan lokal, tingkat kemajuan sosial, politik dan ekonomi tiap negara, isu-isu ilmiah, masalah anggaran, dan pada ujungnya adalah mempertanyakan tingkat kepercayaan setiap negara.
Apa yang Dapat Kita Lakukan?
Perubahan iklim bukanlah mimpi buruk, tetapi kenyataan yang harus dihadapi bersama. Dampak terjadinya perubahan iklim sudah bisa kita lihat dimana-mana. Produksi pertanian yang menurun akibat ketidak pastian musim, banjir, dan kekeringan; munculnya hama dan penyakit baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya; dan merosotnya produksi perikanan karena berubahnya ecosystem lautan dan rusaknya terumbu karang; serta berbagai bencana yang sering kita lihat akhir-akhir ini. Menurut Badan Penanganan Bencana Alam (BNPB), lebih 80% bencana nasional yang terjadi di Indonesia adalah akibat perubahan iklim.
Penurunan emisi GRK adalah pekerjaan rumah besar yang perlu kita selesaikan bersama-sama. Bukan hanya di tingkat nasional dan lokal, tetapi juga internasional. Pemerintah Indonesia sudah bekerja keras melakukan berbagai upaya penurunan emisi GRK. Termasuk diantaranya adalah moratorium penundaan pemberian izin baru pengusahaan hutan alam, pembanguan ekonomi rendah karbon, dan pendirian Badan Restorasi Gambut. Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan BAPPENAS adalah dua lembaga pemerintah yang selama ini menjadi leading agents dalam mengurus permasalahan yang terkait dengan perubahan iklim. Sementara Kementerian Keuangan mendukungnya dengan berbagai kebijakan pendanaan perubahan iklim.
Yang diperlukan dari pemerintah saat ini hanyalah persoalan kepemimpinan dan tata kelola dalam perubahan iklim (leaderships and governance), baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di tingkat Pusat, mutlak diperlukan kekompakan antara Kementerian/Lembaga (K/L) yang banyak terlibat dalam perubahan iklim agar tidak terjadi tumpang tindih peran dan kewenangan. Peran Kementerian Ekuin dituntut jauh lebih besar lagi agar terjadi koordinasi yang sinergis, efektif dan efisien antara K/L yang terlibat dalam urunan emisi dan pembangunan rendah karbon. Di tingkat daerah, juga diperlukan keserasian antara peran dan kewenangan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Dinas Teknis terkait. Tolok ukur keberhasilan penanganan perubahan iklim adalah implementasi di daerah, sehingga segala upaya dan dukungan teknologi, pendanaan, dan kapasitas penanganan perubahan iklim difokuskan di tingkat daerah, bukan di pusat pemerintahan.
Sebagaimana telah disebutkan di muka, dalam 11-12 tahun mendatang sektor energi akan memegang peranan kunci dalam upaya penurunan emisi di Indonesia. Kenaikan hampir tiga kali lipat emisi dari sektor ini pada tahun 2030 akan berdampak besar pada target penurunan emisi 29-41% yang telah disampaikan pemerintah kepada Sekretariat UNFCCC. Apabila Indonesia ingin “mendukung” kenaikan temperatur bumi maksimal 1,50C dibandingkan suhu bumi rata-rata sebelum revolusi industri abad 18, maka target penurunan emisi ini harus dilipat gandakan dari target yang ada sekarang.
Menurut data NDC Indonesia, rencana reduksi emisi dari sektor energi masih lebih rendah dibandingkan sektor kehutanan. Dari proyeksi 1669 juta ton emisi tahun 2030, jumlah emisi yang akan dikurangi hanyalah sebesar 314 juta ton bila dilakukan dengan upaya sendiri (counter measure 1 -CM1), dan 398 juta ton bila dilakukan dengan dukungan internasional (counter measure 2 -CM2). Bandingkan angka ini dengan kewajiban penurunan emisi dari sektor kehutanan sebesar 497 juta ton (dengan CM1) dan 650 juta ton (dengan CM2). Padahal prakiraan emisi dari sektor kehutanan kurang dari separuhnya dibandingkan prakiraan emisi dari sektor energi pada tahun 2030 (714 vs 1669 juta ton emisi CO2).
Sektor kehutanan sesungguhnya dapat membantu sektor energi untuk menurunkan emisi GRKnya, yaitu dengan mengembangkan bioenergi dari sumberdaya hutan (biomasa hutan) yang menghasilkan lignoselulosa yang dapat di budidayakan dan dikelola secara berkelanjutan dalam bentuk Hutan Tanaman Energi (HTE). Pengembangan HTE juga akan membantu mengurangi tekanan pada hutan alam dan konservasi, serta merehabilitasi lahan yang rusak.
Mengembangkan bioenergi dari sumberdaya hutan bukanlah tanpa masalah dan hambatan. Tantangannya adalah bagaimana bisa memperoleh keberadaan sumber bahan baku potensial dan terukur secara berkelanjutan. Pengembangan energi semacam ini tidak dapat mengandalkan produk sampingan dan/atau limbah pembalakan hutan dan dari industry kehutanan saja. Apalagi kalau akan diperankan dalam mengupayakan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Selain itu, jenis kayu energi yang akan dikembangkan dalam HTE sangat tergantung pada kondisi tempatan yang variasinya cukup besar mengingat luasnya wilayah NKRI.
Pemerintah tidak akan sanggup bekerja sendirian saja, dan perlu bantuan para aktor di luar pemerintahan (non-state actors). Mereka adalah para pelaku bisnis, LSM, ilmuan, akademisi, praktisi lapangan, para pendidik, pemuka masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Yoichi Kaya, seorang ekonom Jepang menyampaikan argumennya bahwa besarnya emisi suatu negara berbanding lurus dengan jumlah populasi, GDP, dan jenis energi yang digunakan di negara tersebut. Makin tinggi populasi dan GDP suatu negara, maka emisinya akan semakin tinggi. Apalagi bila energi yang digunakan bukan energi yang terbaharukan, dan digunakan secara berlebihan/boros. Tantangan terberat bagi Indonesia adalah bagaimana emisi GRK dapat diturunkan sebanyak mungkin namun dengan menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi.
Solusi perubahan iklim bukanlah hanya wacana yang ramai diperdebatkan di ruang berpendingin udara (AC) di kota-kota besar, dan di hotel-hotel mewah, tetapi perlu dituangkan dalam aksi nyata di lapangan. Pemerintah dan non-state actors sesungguhnya merupakan para pelaku utama yang dapat merubah keadaan. Pemahaman tentang perubahan iklim harus dilakukan lebih intensif, serius, dan diulang terus menerus oleh semua pihak agar dapat merubah tingkah laku dan pola hidup masyarakat yang boros energi.
Perundingan perubahan iklim yang telah berlangsung hampir seperempat abad ini hanyalah salah satu sarana untuk mencari solusi untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim dunia, tetapi kunci keberhasilannya tergantung pada kita masing-masing. Meminjam kata-kata Ustadz A. Gymnastiar (Aa Gym), maka solusi yang paling pragmatis adalah 3M: Mulai dari diri sendiri; Mulai dari keluarga dan kerabat terdekat; dan Mulailah dari sekarang.
Semoga …

Oleh Doddy S. Sukadri