Menjelang Sidang ke 24 Konperensi Perubahan Iklim Sedunia

Hanya dalam hitungan hari, tepatnya tanggal 3-15 Desember 2018, diperkirakan lebih dari sepuluh ribu peserta akan mengambil bagian dalam perhelatan tahunan ke 24 Konperensi Perubahan Iklim Sedunia yang kali ini akan berlangsung di Katowice, Polandia. Konperensi kali ini diharapkan akan dapat menyelesaikan pengaturan rinci terkait modalitas, prosedur dan panduan pelaksanaan Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang akan menjadi acuan bagi seluruh negara setelah tahun 2020 nanti.

Kesepakatan Paris yang disetujui 196 negara pada bulan Desember 2015 itu menyerukan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2° Celcius di atas suhu bumi rata-rata jaman pra-industri, sambil meningkatkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu tsb sampai 1,5° Celcius saja.  Laporan spesial Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober 2018 lalu telah menghebohkan banyak pihak. Laporan tersebut membeberkan akibat yang mungkin terjadi apabila kenaikan suhu global melebihi 1,5° Celcius. Gelombang panas akan bertahan lebih lama, hujan badai akan menjadi lebih kuat sekitar sepertiganya dari saat ini, permukaan laut akan meningkat lebih tinggi, dan kerusakan terumbu karang di daerah tropis yang sudah mengalami degradasi parah akan jauh lebih parah lagi. Lebih lanjut, laporan tsb menyebutkan bahwa terumbu karang tropis memiliki peluang untuk beradaptasi dan pulih kembali di paruh terakhir abad ini apabila kenaikan temperatur maksimal  1,5° Celcius. Namun kenaikan 2° Celcius akan melenyapkan peluang pulihnya terumbu karang tsb. dan dengan demikian karang-karang tropis hampir musnah pada tahun 2100.

Salah satu butir Kesepakatan Paris adalah bahwa setiap negara harus menyetorkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)nya, yang disebut Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia telah menyampaikan NDC dengan target penurunan emisi sebesar 29 -41% dibandingkan dengan emisi GRK bila tidak melakukan upaya apa-apa (Business as Usual –BAU) pada tahun 2030. Komitmen ini dipertegas dengan dikeluarkannya UU 16 tahun 2016 tentang ratifikasi Paris Agreement. Bukan Indonesia saja yang telah menyampaikan target reduksi emisinya, tetapi juga negara-negara lain yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa jumlah target penurunan emisi global yang akan diturunkan masih jauh dari cukup menurut perhitungan para ahli perubahan iklim. Alih alih membantu menjaga kenaikan suhu bumi rata-rata di atas 1,5° Celcius, dengan target sekarang ini diperkirakan suhu bumi akan meningkat sekitar 3,2° Celcius, jauh dari kenaikan yang dianggap masih aman. Apalagi dengan tidak ikutnya AS dalam Kesepakatan Paris, maka harapan untuk turunnya kenaikan suhu bumi ini menjadi semakin jauh karena AS merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia.

Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Perubahan iklim bukanlah mimpi buruk, tetapi kenyataan yang harus dihadapi bersama. Dampak terjadinya perubahan iklim sudah bisa kita lihat dimana-mana. Produksi pertanian yang menurun akibat ketidakpastian musim, banjir, dan kekeringan; munculnya hama dan penyakit baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya; dan merosotnya produksi perikanan karena berubahnya ekosistem lautan dan rusaknya terumbu karang; serta berbagai bencana yang sering kita lihat akhir-akhir ini.  Menurut Badan Penanganan Bencana Alam (BNPB), lebih 80% bencana nasional yang terjadi di Indonesia adalah akibat perubahan iklim.

Penurunan emisi GRK adalah pekerjaan rumah besar yang perlu kita selesaikan  bersama-sama. Bukan hanya di tingkat nasional dan lokal, tetapi juga internasional. Pemerintah Indonesia sudah bekerja keras melakukan berbagai upaya penurunan emisi GRK. Termasuk diantaranya adalah moratorium penundaan pengusahaan hutan alam, pembanguan ekonomi rendah karbon, dan pendirian Badan Restorasi Gambut. Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan BAPPENAS adalah dua lembaga pemerintah yang selama ini menjadi leading agencies dalam mengurus permasalahan yang terkait dengan perubahan iklim. Sementara Kementerian Keuangan mendukungnya dengan berbagai kebijakan pendanaan perubahan iklim.

Namun demikian, Pemerintah tidak akan sanggup bekerja sendirian saja, dan perlu bantuan para aktor di luar pemerintahan (non-state actors). Mereka adalah para pelaku bisnis, LSM, ilmuwan, akademisi, praktisi lapangan, para pendidik, pemuka masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Yoichi Kaya, seorang ekonom Jepang menyampaikan argumennya bahwa besarnya emisi suatu negara berbanding lurus dengan  jumlah populasi, GDP, dan jenis energi yang digunakan di negara tersebut. Makin tinggi populasi dan GDP suatu negara, maka emisinya akan semakin tinggi. Apalagi bila energi yang digunakan bukan energi yang terbaharukan, dan digunakan secara berlebihan/boros.  Tantangan terberat bagi Indonesia adalah bagaimana emisi GRK dapat diturunkan sebanyak mungkin namun dengan menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi.

Solusi perubahan iklim bukanlah hanya wacana yang ramai diperdebatkan di ruang berpendingin udara (AC) dan di hotel-hotel mewah, tetapi perlu dituangkan dalam aksi nyata di lapangan. Pemerintah dan non-state actors sesungguhnya merupakan para pelaku utama yang dapat merubah keadaan. Pemahaman tentang perubahan iklim harus dilakukan lebih intensif, serius, dan diulang terus menerus oleh semua pihak agar dapat merubah tingkah laku dan pola hidup masyarakat yang boros energi.

Konperensi Tingkat Tinggi yang sebentar lagi berlangsung di Katowice hanyalah salah satu sarana untuk mencari solusi perubahan iklim dunia, tetapi kunci keberhasilannya tergantung pada kita masing-masing. Mengutip kata-kata Ustadz A. Gymnastiar (Aa Gym), maka solusi yang paling pragmatis adalah 3M: Mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat; Mulai dari yang kecil; dan Mulailah dari sekarang.

Semoga …

Oleh: Doddy S. Sukadri