Diskusi Energi Efisiensi JIRE

Pada tanggal 23 Juli 2019 lalu, Jejaring Indonesia Rendah Emisi, khususnya Yayasan Mitra Hijau dan Masyarakat Konservasi dan Energi Efisiensi Indonesia, mengadakan diskusi terfokus dengan tema Pengarusutamaan Efisiensi Energi dalam Pembangunan Rendah Karbon. Diskusi ini dilatarbelakangi akan segera dimulainya periode kepresidenan baru di bawah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Maruf Amin yang diharapkan akan melaksanakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 dengan format dan model pembangunan rendah karbon (low carbon development). Implementasi LCD, yang antara lain akan mengarusutamakan pengembangan Energi Bersih, yaitu efisiensi energi dan energi terbarukan, diharapkan dapat mendukung pemenuhan target NDC dalam kerangka Paris Agreement 2015 dan pencapaian Sustainable Development Goals (terutama SDG nomor 7).  Efisiensi energi akan menjadi hal yang mutlak harus dilakukan mengingat upaya ini akan membawa hasil yang lebih cepat dan menguntungkan para pelakunya apalagi berdasarkan data dari Bappenas dan KLHK, diperkirakan emisi CO2 dari sektor energi akan melonjak naik 2,5 kali lipat pada tahun 2030.

Pembukaan diskusi oleh Direktur Eksekutif YMH, Dr. Doddy Sukadri

Dengan latar belakang tersebut, diskusi ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman dan posisi bersama tentang peran strategis efisiensi energi dalam pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon, dengan memperhatikan kondisi saat ini di Indonesia, serta memperoleh masukan dalam upaya mendorong pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mengarusutamakannya dalam pembangunan nasional.

Diskusi dibagi menjadi dua sesi panel. Adapun sesi pertama berjudul “pembelajaran dari pelaksanaan efisiensi energi di Indonesia” yang membahas berbagai aspek pembelajaran dalam pelaksanaan energi efisiensi dari perspektif pelaku di berbagai sektor ekonomi, mencakup antara lain peran pemerintah, provider teknologi dan lembaga finansial dalam kegiatan energi efisiensi yang dilakukan sampai saat ini, serta upaya dan solusi apa yang dapat dilakukan/dipertimbangkan untuk memperbaiki kinerja efisiensi dan konservasi energi ke depan.

Sesi kedua terkait inovasi untuk peningkatan efisiensi energiyang membahas bagaimana peran energi efisiensi dalam pembangunan rendah karbon menuju Indonesia Emas 2045 dapat ditingkatkan dengan berbagai terobosan, khususnya menyangkut peningkatan kesadaran masyarakat, kebijakan pemerintah, implementasi, pembiayaan dan monitoring pelaksanaan.

Dalam sesi pertama, pembicara dari Toyota Motor Manufacturing Indonesia/TMMIN, PT. Pupuk Kaltim, PT. Astra International dan PT. Sinar Mas Land menyampaikan pengalaman dan pembelajaran masing-masing dalam melakukan upaya-upaya efisiensi energi. Dari paparan dan diskusi, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat banyak tantangan dalam pelaksanaan efisiensi energi antara lain tantangan teknis, kurangnya awareness di tingkat top management, serta tidak adanya insentif yang menarik bagi energi efisiensi. Tantangan-tantangan tersebut yang harus dihadapi oleh para pemapar sebelum dapat sukses melaksanakan upaya-upaya energi efisiensi. Satu hal yang menarik dalam diskusi adalah fakta bahwa Pemerintah belum melaksanakan sangsi bagi pemakaian energi yang boros walaupun regulasinya ada dikarenakan kekhawatiran dampak negatifnya terhadap industri dan investasi. Di sisi lain, pemborosan energi akan membahayakan ketahanan energi nasional dan menurut para pemapar, industri akan taat pada kewajiban managemen energi bila ada keseimbangan antara punishment dan reward-nya. Sebagai informasi, insentif pernah diberikan oleh pemerintah pada tahun 2013 untuk peremajaan mesin di industri tekstil dan sejak itu belum ada lagi terkecuali insentif lunak seperti penyediaan audit energi di beberapa industri besar.

Dalam sesi kedua, Direktorat Konservasi Energi – Kementerian ESDM, WWF Indonesia, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, dan Supply Chain Indonesia memaparkan beberapa kebijakan, inisiatif dan ide untuk energi efisiensi. Kesimpulan dari sesi kedua ini antara lain bahwa upaya pemerintah sebagai role model harus disertai dengan konsistensi dalam pembuatan regulasi, termasuk jangan ganti menteri ganti regulasi. Kedua, bahwa sosialisasi sejak dini sangat penting dan untuk bisa merumuskan insentif/disinsentif yang efektif, khususnya yang berkaitan dengan emisi karbon dari sektor energi, diperlukan diskusi-diskusi lanjutan. Contoh insentif/disinsentif yang berfokus pada pajak karbon, sebagaimana ide yang dipaparkan KPBB, akan sangat efektif karena langsung berpengaruh ke individu perlu dibicarakan dan disebarkan lebih lanjut agar masyarakat mulai bertindak dalam mengefisiensikan penggunaan energi. Yang ketiga, pencarian inovasi-inovasi harus terus dilakukan. Sebagai contoh, kebijakan logistik merupakan bidang baru dalam diskusi energi efisiensi dan ternyata dapat memberikan dampak penghematan energi yang luar bisa serta juga merupakan hal yang penting untuk industri.

Dr. Doddy S. Sukadri, selaku Direktur Eksekutif YMH, menyampaikan bahwa dari kegiatan diskusi hari ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut yang diharapkan dapat menjadi masukan untuk penyusunan kertas posisi masyarakat terkait pengembangan energi efisiensi di Indonesia sebagai berikut:

  1. Terdapat dua hal penting tentang efisiensi energi yang terkait dengan peran pelaku usaha dan Pemerintah dalam pembangunan rendah karbon dan SDG di Indonesia, yaitu a) bagaimana peran pelaku usaha dalam memberikan kontribusinya secara aktif dalam konservasi energi, ketahanan energi nasional, dan mitigasi perubahan iklim; b) bagaimana regulasi pemerintah yang terkait dengan efisiensi energi dan konservasi energi dapat mendorong dan meningkatkan partisipasi para pelaku usaha dalam mendukung kebijakan pembangunan rendah karbon dan SDG di Indonesia.
  2. Pelaku usaha/perusahaan harus dapat mengembangkan teknologi dan inovasi agar bisa berkompetisi dalam menghasilkan green products secara berkelanjutan disamping mengefisienkan proses produksi, menghemat pemakaian energi dan menurunkan emisi GRK. Penerapan ISO 50001, misalnya, berpotensi untuk mengkonservasi energi sebesar 30-40%, dan menghemat biaya produksi secara signifikan. Peranan CSO juga penting dalam meningkatkan jejaring kerja, saling bertukar pengalaman, dan advokasi konservasi dan efisiensi energi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan rendah karbon dan mencapai SDG sesuai dengan yang ditargetkan pemerintah.
  3. Upaya-upaya implementasi efisiensi energi yang telah banyak dilaksanakan para pelaku usaha selama ini adalah peningkatan efisiensi energi dalam proses produksi, termasuk di dalamnya: membangun kesadartahuan dan komitmen, peningkatan kapasitas teknis, SDM, danpendanaan. Komitmen yang kuat diperlukan dari semua pihak yang terlibat termasuk manajemen perusahaan dan pihak pemerintah sendiri sebagai regulator.
  4. Walaupun demikian, terdapat tantangan dan hambatan utama di dalam melakukan implementasi efisiensi energi bagi para pelaku usaha. Hal paling utama yang terkait dengan regulasi pemerintah menyangkut belum dilaksanakannya sistim insentif dan disinsentif serta sulitnya mengakses sumber pendanaan untuk pengembangan efisiensi energi. Dari sisi pelaku usaha, tantangan terberat adalah lemahnya dorongan manajemen karena kekhawatiran menurunnya keuntungan perusahaan dan rendahnya kesadaran atas manfaat penghematan energi.
  5. Dari sudut pandang kebijakan, dapat disimpulkan bahwa telah banyak kebijakan/regulasi yang dibuat pemerintah. Misalnya yang paling penting dan mutahir adalah proses revisi Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Energi dengan memasukkan Sektor Gedung dan Bangunan serta mengganti/menurunkan threshold kewajiban manajemen energi. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan regulasi tersebut secara semestinya.
  6. Masukan penting dari diskusi ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas regulasi pemerintah yang terkait dengan konservasi energi, ketahanan energi nasional, dan mitigasi perubahan iklim adalah perlunya keseimbangan antara insentif dan disinsentif energi efisiensi sehingga pasar energi efisiensi dapat terbentuk. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan inovasi dan koordinasi kebijakan yang memadai.