Buku yang Belum Selesai Ditulis di Katowice

Ada hal yang sangat ironis pada pelaksanaan COP 24 UNFCCC tiga minggu lalu, tempat penyelenggaraannya adalah di Katowice, kota kecil di pelosok Polandia. Tapi bukan itu masalahnya, bukan masalah keterpencilan dan minimnya jumlah akomodasi untuk delegasi ini ditambah kenyataan bahwa Katowice adalah kota yang hampir 100% digerakkan oleh pembangkit listrik bertenaga batubara.

Ratusan dan malah ribuan bis dan mobil bertenaga listrik dan diklaim nir emisi tidak dapat menutupi kenyataan kalau penggerak utama pembangkit listriknya adalah batubara. Bahkan berbagai patung, lambang kota, sampai magnet tempelan kulkasnya pun adalah batubara.

Ini mungkin suatu isyarat kalau perundingan COP 24 ini akan berjalan sangat alot. Bahkan target untuk menyusun pedoman implementasi Perjanjian Paris yang disebut Paris rulebook pun akhirnya tidak sempurna dibuat meski semboyan atau tagline Walikota Katowice sebagai tuan rumah dalam konperensi ini adalah from black to green.

Di sisi lain, sangat alotnya perundingan memang sudah bisa diduga dari hari pertama. Laporan IPCC terakhir yang menyebutkan perlunya menghentikan laju pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius langsung diblok oleh Amerika Serikat, Rusia, Saudi Arabia, dan Kuwait. Semangat inilah yang kemudian berkembang selama perundingan, semangat blocking atau menghambat.

Kenapa perundingan di COP 24 berjalan sangat alot?

Kenapa perundingan sedemikian alotnya? Bagi yang mengerti mekanisme perundingan di UNFCCC tentu sangat paham bila pengambilan keputusan memang tidak pernah mudah dilakukan. Pertama adalah karena mekanisme persetujuan di negosiasi UNFCCC sendiri.

Nothing is agreed until everything is agreed“, demikian mottonya. Artinya kalau ada satu kata atau bahkan satu titik saja tidak disetujui (di “bracket“), maka seluruh dokumen tidak bisa disetujui.  Bisa dibayangkan kalau ada 197 negara yang berunding dengan 197 kepentingan yang berbeda, pasti akan sangat sulit menemukan persetujuan.  Kali ini tapi yang melakukan perundingan memang minus Amerika Serikat yang mencoba untuk menarik diri dari Paris Agreement atau Perjanjian Paris.

Hal lain adalah Perjanjian Paris sendiri sangat sarat dengan berbagai kepentingan dan masalah teknis. Perjanjian Paris ini sebenarnya adalah salah satu perjanjian yang paling banyak ditandatangani oleh negara-negara di dunia, yang artinya semua kepentingan negara tersebut harus sudah terwakili di dalamnya.  Ditambah dengan  banyaknya perbedaan kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang dan negara miskin, negara kepulauan dengan negara daratan, negara agragris dengan negara industri, antara utara dan selatan, dan berbagai perbedaan lain yang kemudian menciptakan berbagai group negara di dalam perundingan, maka perundingan di UNFCC selalu kompleks dan riuh rendah dengan segala macam intervensi, blocking, dan bahkan tidak jarang terjadi aksi walkout untuk menegaskan sikap.

Walau begitu, Perjanjian Paris telah disetujui bahkan oleh Amerika Serikat pada tahun 2015.  Capaian luar biasa dan untuk pertama kalinya di dalam sejarah inilah yang kemudian menjadi pokok bahasan di Katowice dan dua COP sebelumnya, Bonn dan Marakech.  Ibaratnya Perjanjian Paris adalah undang-undang yang telah disetujui bersama, maka berikutnya akan diperlukan peraturan pemerintah dan peraturan menteri guna implementasinya.

Itulah yang kemudian dirundingkan di Katowice sepanjang awal sampai pertengahan Desember 2018.  Dan ibarat buku yang seharusnya ditulis sampai happy ending, masih ada beberapa bab dan halaman dari buku tersebut yang masih belum bisa ditulis karena semua berusaha menulis dengan versi mereka sendiri.

Apa saja yang sudah disepakati di Katowice?

Perundingan yang terjadi di Katowice sebenarnya banyak jenisnya dan bermacam agendanya. Beberapa jenis perundingan lain di bawah UNFCCC yang juga ikut dibahas antara lain adalah perundingan-perundingan di bawah SBSTA (Subsidary Body on Scientific and Technological Advice) , SBI (Subsidary Body for Implementation), COP (Conference of the Party), CMP (Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol), APA (Adhoc Working Group to the Paris Agreement), dan CMA (Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement).  Ditambah dengan adanya Talanoa dialog antar pejabat tinggi yang mewakili tiap negara yang sudah dimulai di Bonn sebelumnya, maka semakin meriahlah perundingan.

Selain itu dilakukan pula berbagai macam perundingan dan negosiasi di dalam group negara, bilateral, regional, dan multilateral terkait dan untuk mendukung  perundingan yang sedang berjalan.  Selama dua minggu perundingan, telah dilakukan ratusan perundingan maupun lobby di dalam kompleks arena olahraga Spodek Katowice.

Di luar perundingan yang secara resmi berjalan, maka banyak negara melakukan eksebisi dalam bentuk pendirian paviliun.  Berbagai side event yang dilakukan di paviliun-paviliun negara peserta perundingan tersebut merupakan upaya soft diplomacy maupun unjuk kerja yang telah dilakukan oleh negara-negara peserta COP 24.  Upaya ini sangat efektif karena para negosiator maupun pimpinan delegasi yang terlibat di dalam negosiasi juga terlibat di dalam side event, sehingga mereka bisa mendapat masukan yang riil dari negara mitra negosiasi.  Belum lagi ternyata banyak paviliun dan side event yang dijadikan sarana lobby perundingan maupun lobby untuk kerjasama lain.

Dan seperti telah diketahui, perundingan di COP 24 UNFCCC Katowice akhirnya menyepakati Katowice Package atau Paket Katowice, berupa serangkaian dokumen Paris Agreement Work Program (PAWP) atau Program Kerja Perjanjian Paris. Satu set keputusan yang dimaksudkan untuk mengoperasionalkan Perjanjian Paris. Untuk tujuan ini, para pihak mengadopsi Paket Iklim Katowice, yang mencakup keputusan tentang hampir semua masalah yang dimandatkan sebagai bagian dari PAWP. Termasuk paket persetujuan itu adalah sebagai berikut:

  • Tentang mitigasi (article 4): panduan lebih lanjut dalam kaitannya dengan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC), kerangka waktu umum, dan modalitas, program kerja, dan fungsi di bawah Perjanjian Paris forum tentang dampak penerapan langkah-langkah tanggapan;
  • Tentang adaptasi (article 7): panduan lebih lanjut tentang komunikasi adaptasi;
  • Mengenai keuangan (article 9): identifikasi informasi yang akan disediakan oleh para pihak sesuai dengan Perjanjian Pasal 9.5 (transparansi keuangan ex ante), hal-hal yang berkaitan dengan Dana Adaptasi, dan penetapan tujuan kuantitatif baru yang dihitung tentang keuangan;
  • Pada teknologi (article 10): ruang lingkup dan modalitas untuk penilaian berkala Mekanisme Teknologi, dan kerangka teknologi;
  • Untuk transparansi (article 13): modalitas, prosedur, dan pedoman untuk kerangka kerja transparansi untuk tindakan dan dukungan;
  • Tentang stok global/global stock take (article 14); dan
  • Pada modalitas dan prosedur (article 15): modalitas dan prosedur untuk operasi yang efektif dari komite untuk memfasilitasi implementasi dan meningkatkan kepatuhan akhirnya juga telah disetujui.

Dibanding dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya, Protokol Kyoto yang disetujui pada tahun 1997 membutuhkan waktu 5 tahun sampai dengan memiliki perangkat dan aturan yang jelas, yaitu ketika dilakukan COP di Marrakech pada tahun 2002 yang melahirkan Marrakech Accord.  Perjanjian Paris hanya membutuhkan waktu 3 tahun sampai memiliki Paris rulebook, walau kemudian ternyata belum semuanya bisa disetujui dan dijadikan aturan.

Selain dari berbagai keputusan di dalam Paket Katowice tadi, rangkaian siding lain seperti SBI, SBSTA, dan yang lain juga telah menghasilkan keputusan-keputusan yang akan digunakan bukan saja untuk implementasi Perjanjian Paris, tapi bagaimana kemudian menjembatani apa-apa yang sudah dilakukan oleh negara-negara peserta dengan implementasi NDC (Nationally Determined Contribution) mereka.

Yang terjadi di Katowice selama 2 minggu lalu adalah, walau pun penyusunan pedoman dari implementasi Perjanjian Paris ini sebagian besar sudah disusun, tapi sebenarnya masih ada lobang besar yang kemarin belum berhasil untuk disepakati.  Atau dengan kata lain, buku pedoman implementasi Perjanjian Paris ini belum berhasil ditulis secara lengkap.  Buku ini belum tamat dengan happy ending.

Kenapa mekanisme pasar belum disepakati di Katowice?

Yang belum disepakati di Katowice terutama adalah masalah mekanisme pasar.  Sedemikian pentingnya mekanisme pasar ini terhadap keseluruhan model implementasi, sehingga COP 25 di Santiago Chile diharapkan dapat menjadi “Market Mechanism COP”.

Kenapa mekanisme pasar kemudian menjadi penting?  Hal ini tidak lain karena secara langsung akan terkait dengan implementasi model pembiayaan mitigasi yang akan dilakukan, baik oleh negara berkembang maupun negara maju.  Mekanisme pasar juga secara langsung akan terkait dengan model pembiayaan REDD+ di dalam article 5 Perjanjian Paris, dan secara tidak langsung akan terkait dengan pembiayaan adaptasi perubahan iklim, karena sebagian dana adaptasi global akan diharapkan diambil dari persentase penjualan kredit karbon di dalam mekanisme pasar.

Hampir semua negara peserta yang mengikuti perundingan menyadari kalau negara tidak mungkin membiayai sepenuhnya implementasi pengurangan emisi yang akan dilakukan sesuai dengan NDC mereka.  Mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi akan membutuhkan biaya yang sangat besar, dan meskipun ini kemudian akan menjadi tanggung jawab negara peserta, tapi apabila ada peluang untuk pembiayaan menggunakan pihak ketiga, disinilah mekanisme pasar berfungsi.

Pasar memungkinkan adanya bantuan pembiayaan untuk mitigasi perubahan iklim dari bisnis ke negara dan masyarakat maupun negara maju ke negara berkembang atau bahkan sebaliknya.  Mekanisme pasar juga memungkinkan terjadinya transfer teknologi, investasi, maupun bantuan pengembangan kapasitas antara para pelaku, di samping kemutlakan adanya transparansi di dalam perhitungan pengurangan emisi dan transaksi.

Lebih jauh, tujuan article 6 ini adalah yang seperti tertera di dalam para 6.2 article 6, yaitu kerjasama yang dilakukan ditujukan untuk  peningkatan ambisi NDC, implementasi pembangunan berkelanjutan, peningkatan transparansi, dan implementasi integritas lingkungan.

Kenapa kemudian article 6 ini mengalami deadlock di COP 24?

Article 6 tak pelak sebenarnya adalah kumpulan dari ide-ide baru untuk pembentukan mekanisme pasar baru saat implementasi Perjanjian Paris. Bahkan ide baru untuk implementasi kerjasama dan pendekatan non pasar, sebagai antithesis dari mekanisme pasar, juga kemudian dimasukkan di dalam article 6.

Saking barunya ide-ide tersebut yang terkumpul saat Perjanjian Paris disetujui, ada beberapa istilah di dalamnya yang bahkan tiap negara mempunyai pemahaman yang berbeda. Istilah-istilah baru seperti ITMO (Internationally Transfer Mitigation Outcome) dan non-market approaches (pendekatan non pasar) misalnya, telah memicu berpuluh diskusi selama 3 tahun terakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Paris.  Bahkan di dalam perundingan untuk article 6 di Katowice, timbul istilah baru yaitu OMGE (Overall Mitigation in Global Emissions) yang semakin membuat perundingan marak.  Karena itu, walau konon menurut para negosiator perundingan article 6 sudah banyak mengalami kemajuan, tapi bisa saja kemudian kembali dari nol lagi pada COP 25.

Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa kenyataan kalau hampir semua negara mempunyai ekspektasi yang berbeda terhadap implementasi article 6.  Negara-negara maju menginginkan suatu mekanisme yang rigid dan transparan, sementara negara berkembang dan apalagi negara miskin menginginkan suatu mekanisme yang bersifat sederhana dan mudah digunakan sehingga mereka bisa ikut terlibat dengan mudah.

Sementara beberapa posisi berbeda seperti Brasil yang menginginkan adanya carried over atau membawa karbon kredit CDM nya pada mekanisme pasar baru di implementasi Perjanjian Paris semakin mempersulit tercapainya kesepakatan.  Hal-hal inilah yang akhirnya membuat article 6 kemudian harus diselesaikan perundingannya di Santiago Chile.

Diharapkan Chile yang saat ini sudah cukup canggih dalam implementasi carbon pricing (memberi harga pada pengurangan emisi) seperti pajak karbon (carbon tax),sedang mempersiapkan implementasi mekanisme perdagagan karbon melalui ETS (Emission Trading Scheme), terlibat secara langsung dalam penyiapan pasar karbon untuk penerbangan internasional (CORSIA/Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation), dan mempunyai banyak proyek CDM (Clean Development Mechanism), akan memberi atmosfer yang positif demi tercapainya perundingan COP 25 di Santiago, khususnya kesepakatan di dalam article 6.

Apa yang harus dipersiapkan Indonesia?

Pertanyaaan di atas selalu timbul setelah perundingan COP UNFCCC selesai.  Apa yang harus Indonesia persiapkan? Pekerjaan rumah apa yang terbesar?

Walau kemudian COP 24 secara hasil kurang memuaskan kalangan bisnis, dengan belum disetujuinya article 6, tapi sudah banyak kemajuan yang dicapai. Ke depan kesepakatan-kesepakatan baru yang terjadi kemudian harus mampu diterjemahkan ke dalam persiapan di dalam negeri.

Indonesia saat ini dibanding dengan negara berkembang lain pada umumnya, sudah cukup maju di dalam perencanaan dan persiapan implementasi Perjanjian Paris.  Walau begitu dibanding dengan beberapa negara berkembang yang sudah lebih maju seperti Chile, Brasilia, China, India, Afrika Selatan, dan bahkan Thailand, ada banyak hal yang kemudian juga harus dipelajari dan kita percepat persiapannya.  Sementara kesiapan negara maju seperti EU, Jepang, Australia, New Zealand, Rusia, dan bahkan sebenarnya Amerika Serikat, sudah lebih maju daripada negara berkembang.

Negara-negara tersebut bukan hanya telah mempunyai target pengurangan emisi yang jelas serta sistem registrasi nasional, tetapi juga telah mempersiapkan bahkan mengimplementasikan, berbagai model pendanaan baik melalui mekanisme non-pasar maupun melalui mekanisme pasar.  Pada saatnya, hal tersebut akan sangat berguna apabila article 6 disepakati.

Indonesia sudah mempunyai target nasional penurunan emisi yang tinggi, Indonesia juga sudah memiliki model registrasi nasional yang membanggakan, bahkan persiapan juga sudah dilakukan untuk model pembiayaan.  Yang kemudian juga harus dipersiapkan seperti negara-negara yang disebutkan di atas adalah model pembiayaan dan implementasi pengurangan emisi yang dilakukan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh swasta, dan bukan hanya menggunakan mekanisme non-pasar tetapi juga dengan menggunakan pendekatan pasar.

Dan hal yang kemudian harus dilakukan adalah melakukan klasifikasi implementasi pengurangan emisi berdasar dari biaya mitigasinya.  Target pengurangan emisi nasional bukan hanya dibagi berdasarkan jenis sektornya tetapi juga bagaimana swasta dan sektor bisnis bisa ikut berperan bahkan mengambil kesempatan.  Model pembiayaan pengurangan emisi yang kreatif, transparan, akuntabel, dan tidak berpotensi menyebabkan perhitungan ganda harus bukan saja dirancang tetapi juga secara langsung diujicoba.

Selanjutnya pemerintah bisa bertindak sebagai regulator dan scheme owner  yang mengatur  model pendanaan dan implementasi perubahan iklim serta menetapkan aturan main.  Dengan demikian pencapaian target pengurangan emisi bukan hanya membutuhkan biaya dan kerja keras tetapi juga meningkatkan efisiensi, perbaikan kinerja, tarnsparansi, bahkan juga mendorong peningkatan perekonomian.

Tahun depan memang akan dilanjutkan perundingan pembuatan buku aturan main Perjanjian Paris, tahun 2019.  Dan tahun 2020 telah disepakati dimulainya implementasi NDC secara global.

Hanya tinggal 1 tahun lebih beberapa hari, dan masih banyak yang harus dipersiapkan Indonesia.  Harus bersiap sekarang, karena masa depan letaknya adalah sekarang.

 

Dicky Edwin Hindarto

Penggemar isu perubahan iklim