Para peminat pembangunan berkelanjutan, pembangunan rendah emisi, pembangunan rendah karbon, pembangunan bersih, atau apapun namanya, rasanya akan tersenyum senang di hari Jumat, 28 Juni 2019 pada acara Indonesia Green Growth and Sustainability Expo (IGGSE) 2019 yang diadakan di Graha Cakrawala, Universitas Negeri Malang. Hari ini adalah hari terakhir dari rangkaian acara IGGSE dan didedikasikan pada implementasi pembangunan rendah karbon di Indonesia dan Jejaring Indonesia Rendah Emisi (JIRE) didapuk menjadi co-host pada segmen ini.
Sesi seminar dibuka oleh Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim; HM Ridwan Hisyam, anggota DPR-RI Komisi VII dan Dicky Edwin Hindarto, Koordinator JIRE yang bertindak sebagai moderator.
Dalam keynote-nya, Sarwono menekankan bahwa ketertinggalan Indonesia dalam pembangunan ekonomi tidak harus dikejar dengan cara meniru negara lain. Pembangunan Indonesia harus dikebut dengan menggunakan keunggulan nasional dan keanekaragaman hayati, khususnya di hutan dan hamparan pesisir kita adalah salah satu modal pembangunan Indonesia yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan lebih baik dan berkelanjutan. Selain itu landscape dan budaya juga adalah modal unggul Indonesia khususnya di bidang pariwisata.
Ridwan Hisyam menggarisbawahi modal unggul lainnya yaitu menjelangnya era anak muda, milenial, dengan adanya bonus demografi yang akan ‘resmi’ dimulai tahun 2020. Modal demografi ini harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar bisa menjadi penggerak, bukan beban, pembangunan. Hisyam juga menyampaikan bahwa parlemen sangat memperhatikan soal pembangunan berkelanjutan sehingga anggaran terkait pun ditingkatkan. Namun sumber pembiayaan non Pemerintah juga harus ditingkatkan dan kerjasama perusahaan-swasta melalui kegiatan CSR yang baik dan sesuai standar internasional dapat menjadi salah satu wahana. Di Malang contohnya, bank sampah telah berkembang dengan cukup baik dan merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia.
Sesi pembukaan ini dapat disimpulkan secara ringkas menggarisbawahi bahwa tantangan abad 20 dan abad 21 sangat berbeda. Cara yang tepat di abad 20 belum tentu tepat saat ini. Namun kita meyakini bahwa pembangunan yang berkelanjutan dan rendah emisi adalah cara yang tepat untuk mengatasi sebagian dari tantangan kekinian. Contohnya adalah pemanfaatan sumber daya lokal, seperti gerakan locavore, dan revolusi industri 4.0 yang akan mewarnai pembangunan abad 21.
Di sesi paparan, sampai dengan sore hari dipaparkan berbagai inisiatif dan kegiatan pembangunan rendah emisi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Universitas Negeri Malang, Universitas Brawijaya, Rumah Energi, PT Semen Indonesia dan CENITS. Dari sesi paparan dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembangunan rendah emisi akan menguntungkan secara ekonomi bila dirancang dengan baik. Contoh menarik tentang keekonomian rendah emisi ini datang dari PT Semen Indonesia yang dengan mengurangi rasio klinker dan menggunakan bahan bakar alternatif dapat mengurangi jumlah emisi karbondioksida yang diproduksi per ton semen. Kegiatan-kegiatan ini akan mengurangi konsumsi batu baradan meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan energi dari panas buang sehingga bisa mengurangi emisi per ton semennya dari 656 ke 626 kg CO2/ton semen.