Empat tahun yang lalu, eforia dunia terjadi saat Paris Agreement atau Kesepakatan Paris akhirnya berhasil disepakati. Ini adalah perjanjian multilateral yang paling banyak negara penandatangannya sepanjang sejarah manusia. Adanya 197 negara penandatangannya, termasuk Amerika Serikat pada waktu itu, kemudian tidak lantas bisa diimplementasikan dalam kegiatan pengurangan emisi dan pencapaian target.
Pentingnya Kesepakatan Paris untuk bisa diimplementasikan dengan segera adalah satu kemutlakan untuk pencegahan perubahan iklim di dunia. Bumi ini membutuhkan segera pengurangan emisi secara global secara terencana, serius, dan berkelanjutan. Tidak ada cara lain karena semakin tinggi konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer, semakin banyak bencana iklim yang terjadi.
Kesepakatan Paris tidak bisa secara langsung diimplementasikan karena ada aturan main rinci yang kemudian harus disepakati lebih dulu, sehingga perjanjian tersebut bisa diimplementasikan dengan baik oleh semua negara penandatangannya.
Aturan main Perjanjian Paris atau yang disebut Paris Rule Book inilah yang kemudian menjadi pokok bahasan utama dari COP 25 UNFCCC yang kali ini diselenggarakan di Madrid, Spanyol, setelah pemerintah Chile menyatakan tidak sanggup untuk menyelenggarakannya di Santiago karena maraknya kerusuhan dan demo hanya satu bulan sebelum COP 25. Dan seperti seakan pertanda alam, kegagalan pelaksanaan di tempat yang seharusnya di Santiago juga kemudian diikuti oleh kegagalan hasilnya.
Konferensi perubahan iklim tahun ini semestinya membicarakan tiga isu besar. Pertama, komitmen baru pemangkasan emisi karbon sebelum dekade 2010–2020 berakhir. Yang kedua adalah komitmen untuk membantu negara yang terkena dampak perubahan iklim, dan yang terakhir adalah merampungkan mekanisme pasar dan non pasar di dalam article 6. Dan itu semua boleh dikata gagal.
Perundingan terpanjang sepanjang sejarah dan berlarut-larut dilakukan secara marathon selama seperempat abad atau 25 tahun untuk memperbaiki keadaan iklim dunia ini gagal mencapai kesepakatan di saat dunia justru sangat membutuhkannya.
Article 6, apa itu?
Salah satu bagian terpenting dari Paris Rule Book ini kemudian adalah article 6 yang di dalamnya berisi model pembiayaan untuk implementasi mitigasi perubahan iklim, terutama melalui mekanisme pasar dan non-pasar. Article 6 ini sebenarnya adalah sebutan untuk bagian 6 dari dari Kesepakatan Paris yang belum berhasil disepakati di COP 24 di Katowice, Polandia.
Banyak orang yang kemudian salah mengartikan bahwa article 6 ini hanya mencakup pembiayaan berbasis pasar, atau gampangnya pembentukan pasar karbon, padahal lebih dari itu.
Article 6 adalah satu-satunya bagian di dalam Kesepakatan Paris yang menghubungkan antara negara dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan penentu target pengurangan emisi dengan pihak swasta dan masyarakat yang melakukan kegiatan secara riil. Article 6 juga yang kemudian menghubungkan kerjasama dan pembiayaan antar negara dalam pengurangan GRK, termasuk juga mekanisme yang akan dipakai, baik berbasis pasar maupun nonpasar.
Apabila diibaratkan Kesepakatan Paris ini adalah sebuah rancangan arsitektur gedung bertingkat, maka hampir seluruh rancangan desain gedung tersebut sudah jadi, mulai dari atap sampai pondasi, termasuk jenis bahannya. Article 6 sendiri di dalam rancangan bangunan tersebut bisa diibaratkan sebagai rencana detil pembelian bahan bangunannya, cara membayar tukangnya, dan bagaimana mendapatkan pendanaan untuk mewujudkan pembangunan riil dari rancangan gedung tersebut.
Kenapa Article 6 penting?
Kenapa mekanisme pasar dan non pasar kemudian menjadi penting untuk disepakati? Bahkan perundingannya juga salah satu yang paling alot di UNFCCC, sampai perpanjangan 40 jam pun tidak dicapai kesepakatan.
Hal ini tidak lain karena secara langsung akan terkait dengan implementasi model pembiayaan mitigasi yang akan dilakukan, baik oleh negara berkembang maupun negara maju. Mekanisme pasar dan non pasar juga secara langsung akan terkait dengan model pembiayaan REDD+ di dalam article 5 Kesepakatan Paris, dan secara tidak langsung akan terkait dengan pembiayaan adaptasi perubahan iklim, karena sebagian dana adaptasi global akan diharapkan diambil dari persentase penjualan kredit karbon di dalam mekanisme pasar.
Hampir semua negara anggota UNFCCC yang mengikuti perundingan menyadari kalau negara tidak mungkin membiayai sepenuhnya implementasi pengurangan emisi yang akan dilakukan sesuai dengan Nationally Determined Contribution atau NDC mereka. Mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi akan membutuhkan biaya yang sangat besar, dan meskipun ini kemudian akan menjadi tanggung jawab negara peserta, tapi apabila ada peluang untuk pembiayaan menggunakan pihak ketiga, disinilah mekanisme pasar berfungsi.
Pasar memungkinkan adanya bantuan pembiayaan untuk mitigasi perubahan iklim dari bisnis ke negara dan masyarakat maupun negara maju ke negara berkembang atau bahkan sebaliknya. Mekanisme pasar juga memungkinkan terjadinya transfer teknologi, investasi, maupun bantuan pengembangan kapasitas antara para pelaku, di samping kemutlakan adanya transparansi di dalam perhitungan pengurangan emisi dan transaksi.
Lebih jauh, tujuan article 6 ini adalah yang seperti tertera di dalam para 6.2 article 6, yaitu kerjasama yang dilakukan ditujukan untuk peningkatan ambisi NDC, implementasi pembangunan berkelanjutan, peningkatan transparansi, dan implementasi integritas lingkungan.
Article 6 gagal disepakati lagi
Kenapa kemudian article 6 ini mengalami deadlock di COP 25 setelah sebelumnya juga gagal disepakati di Polandia?
Article 6 tak pelak sebenarnya adalah kumpulan dari ide-ide baru untuk pembentukan mekanisme pasar baru saat implementasi Kesepakatan Paris. Bahkan ide baru untuk implementasi kerjasama dan pendekatan non pasar, sebagai antithesis dari mekanisme pasar, juga kemudian dimasukkan di dalam article 6.
Saking barunya ide-ide tersebut yang terkumpul saat Perjanjian Paris disetujui, ada beberapa istilah di dalamnya yang bahkan tiap negara mempunyai pemahaman yang berbeda. Istilah-istilah baru seperti ITMO (Internationally Transfer Mitigation Outcome) dan non-market approaches (pendekatan non pasar) misalnya, telah memicu berpuluh diskusi selama 4 tahun terakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Paris. Bahkan di dalam perundingan untuk article 6 di Katowice, timbul istilah baru yaitu OMGE (Overall Mitigation in Global Emissions) yang semakin membuat perundingan marak. Karena itu, walau konon menurut para negosiator perundingan article 6 sudah banyak mengalami kemajuan, tapi kembali dari nol lagi pada COP 25, bahkan gagal disepakati.
Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa hampir semua negara mempunyai ekspektasi yang berbeda terhadap implementasi article 6. Negara-negara maju menginginkan suatu mekanisme yang rigid dan transparan, sementara negara berkembang dan apalagi negara miskin menginginkan suatu mekanisme yang bersifat sederhana dan mudah digunakan sehingga mereka bisa ikut terlibat dengan mudah.
Sementara beberapa posisi yang sangat berbeda seperti Brasil yang menginginkan adanya carried over atau membawa karbon kredit CDM nya pada mekanisme pasar baru di implementasi Perjanjian Paris semakin mempersulit tercapainya kesepakatan. Usulan Brasil untuk membawa karbon kredit dari kegiatan CDM kemudian didukung oleh beberapa negara lain termasuk Australia.
Usulan untuk membawa karbon kredit dari era Kesepakatan Kyoto ke implementasi Kesepakatan Paris ini sangat dikhawatirkan akan mengurangi target global untuk pengurangan emisi. Ratusan juta bahkan milyaran ton setara CO2 karbon kredit ini sebenarnya berasal dari proyek-proyek yang sudah diimplementasikan, tetapi hasil pengurangan emisinya masih berlaku. Hal ini akan menyebabkan tidak ada kegiatan baru untuk penurunan emisi, sementara yang terjadi adalah jual beli karbon kredit untuk proyek-proyek yang sebenarnya sudah bertahun-tahun lalu diimplementasikan.
Dan seperti diketahui, akhirnya kesepakatan tidak bisa dilakukan karena ganjalan article 6 karena diperparah oleh aturan main di UNFCCC sendiri yang berprinsip “nothing is agreed until everything is agreed”, yang artinya mutlak semuanya harus disepakati dulu, atau tidak ada kesepakatan. Tidak dikenal mekanisme pemungutan suara atau voting dalam perundingan UNFCCC, termasuk dalam hal ini. Dan semua negara memiliki hanya satu suara, satu negara tidak setuju maka seluruh kesepakatan tidak bisa disetujui.
Selain itu keluarnya secara resmi Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris yang baru akan bisa secara resmi dilakukan pada tahun depan, juga mengakibatkan perubahan pada peta geopolitik perundingan. Amerika Serikat adalah negara pengemisi terbesar nomor dua di dunia, sementara negara pengemisi nomor satu di dunia, China, juga mendukung usulan Brasil.
Akumulasi dari hal-hal di atas, dan beberapa faktor lain, termasuk efek kelelahan para juru runding karena perundingan tanpa kenal jam selama 2 minggu, adalah penyebab kegagalan perundingan.
Apa kemudian yang harus dilakukan Indonesia?
Kegagalan disepakatinya Paris Rulebook atau Buku Aturan Paris karena perundingan article 6 deadlock tidak lantas membuat kegiatan yang sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan seluruh kalangan di Indonesia lantas kemudian berhenti. Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Kita sudah memiliki target pengurangan emisi yang jelas, kebijakan domestik yang jelas, bahkan perencanaan pembangunan jangka panjang pun mengarah pada pertumbuhan rendah karbon.
Artinya sebenarnya kita mempunyai modal untuk melakukan pengurangan emisi secara nasional dengan target sendiri dan menggunakan sumber daya sendiri. Bahkan mekanisme berbasis pasar karbon pun kemudian akan bisa kita bangun sendiri secara domestik untuk pembiayaan pengurangan emisi.
Yang kemudian akan menjadi kekurangan adalah apabila kita membutuhkan pembiayaan dari pihak luar untuk kegiatan pengurangan emisi, terutama apabila kegiatan tersebut secara spesifik akan dipakai untuk pencapaian target NDC. Baik model pembiayaan berbasis pasar maupun pasar secara internasional tidak akan bisa dilakukan karena belum disepakatinya article 6 sebagai landasan hokum utamanya.
Termasuk juga yang kemudian belum tersedia adalah kesepakatan dan petunjuk untuk mekanisme dasar untuk metodologi, standar, pengukuran, pelaporan, dan verifikasi. Akibatnya adalah bantuan yang selama ini diharapkan untuk kegiatan pengurangan emisi dari pasar karbon internasional gagal dilakukan. Indonesia kemudian untuk sementara harus bertumpu pada kemampuan dan kemandirian nasional dalam pengurangan emisi gas rumah kaca untuk bisa mencapai target pengurangan emisi nasional.
Apakah bisa? Tentu saja bisa, walau mungkin tidak secepat dengan bantuan internasional.
Indonesia bahkan bisa memulai untuk membangun pasar karbon domestik, yang pada satu saat akan bisa diintegrasikan dengan pasar karbon internasional. Atau Indonesia juga bisa membangun sistem pajak karbon yang mengharuskan para pengemisi untuk membayar pajak kepada pemerintah, sekaligus sebagai sumber pendapatan baru di sektor pajak.
Dan hasilnya secara langsung akan bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi, membantu pengembangan energi terbarukan, mengatasi pencemaran lingkungan, membangun lagi hutan-hutan yang mampu menyerap karbon dioksida, dan banyak hal bermanfaat lain.
Hasil terbesar tentu saja adalah membaiknya kualitas lingkungan dan berkurangnya bencana iklim guna masa depan anak cucu kita. Apabila kemudian negara-negara yang lain melakukan hal yang sama, maka walau pun kesepakatan internasional masih berproses, kegiatan domestik sudah menunjukkan hasil.
Siapa lagi kalau bukan kita yang harus melakukan, kapan lagi kalau bukan sekarang melakukannya, dan dimana lagi kalau bukan di negeri tercinta ini melakukannya. Pada akhirnya kita dan anak cucu kita yang akan mendapatkan hasilnya apabila kita lakukan sekarang.
Bukit Golf, 16 Desember 2019 menjelang tengah malam
Penulis: Dicky Edwin Hindarto. Senior Advisor Yayasan Mitra Hijau, Koordinator Jejaring Indonesia Rendah Emisi (JIRE) dan Advisor Joint Crediting Mechanism (JCM), kerjasama bilateral Indonesia-Jepang dalam kegiatan rendah karbon