Seperempat Abad Perundingan Perubahan Iklim

Pada tanggal 2-6 September 2019 yang lalu, para pengambil kebijakan, ilmuan, dan praktisi perubahan iklim akan berkumpul untuk menghadiri Asia Pacific Climate Week di Bangkok. Pada hakekatnya pertemuan ini hanyalah sebagai persiapan sebelum dilaksanakannya pertemuan puncak perubahan iklim sedunia ke 25 (Conference of the Parties –COP25) bulan Desember 2019 yang akan diselenggarakan di Santiago, Chile, Amerika Latin.

Perundingan untuk mencari solusi perubahan iklim tidak terasa sudah berjalan seperempat abad, namun belum juga tuntas sampai sekarang. Tanggal 21 Maret 1994, secara resmi Badan Perserikatan Bangsa-bangsa mengadopsi Kerangka Konvensi Global tentang Perubahan Iklim, yang disebut UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang berisi 26 pasal. Setahun kemudian  (1995), dimulailah Conference of the Party UNFCCC yang pertama (COP-1 UNFCCC) di Berlin, Germany. Salah satu pasal yang penting UNFCCC adalah kewajiban negara-negara maju untuk bertanggung jawab dan membantu negara-negara berkembang dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan menyelesaikan masalah-masalah lainnya yang terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Dalam sejarah negosiasi perubahan iklim selama 25 tahun ini, sesungguhnya hanya dicapai dua kesepakatan penting (milestones) saja. Yang pertama tahun 1997 di Kyoto, Jepang, yang menghasilkan Kyoto Protokol (KP), yang menegaskan kembali kewajiban negara-negara maju untuk bertanggung jawab terhadap pemanasan global. Yang kedua, tahun 2015 di Paris, dan hasilnya dikenal dengan Paris Agreement (PA). Terdapat perbedaan mendasar antara KP dan PA.  Menurut KP, hanya negara maju saja yang wajib menurunkan emisi GRKnya (mandatory), sementara negara berkembang dapat melakukannya secara sukarela (voluntary). Namun menurut PA, semua negara berkewajiban untuk menurunkan emisi GRKnya. 

Perbedaan tersebut adalah berdasarkan hasil kajian ilmiah karena perubahan iklim sarat dengan argumentasi ilmiah. Lebih dari 2500 peneliti di seluruh dunia berembuk untuk membuat berbagai analisa dan scenario resiko yang akan terjadi di masa depan. Mereka tergabung dalam Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC). Dari Indonesia, sekitar 13 orang telah diangkat dan bergabung dalam IPCC. Menurut mereka, apabila manusia tetap tidak mau merubah gaya hidupnya yang konsumtif dan boros energi, serta tidak peduli terhadap lingkungan, maka dalam jangka panjang dampaknya akan sangat luar biasa. Kenaikan suhu global akan melampaui batas ambang kenaikan 20 C dibandingkan suhu rata-rata sebelum revolusi Industri pada abad 18, karena akan berakibat rusaknya sistim kehidupan di muka bumi. Di Paris, batas ambang kenaikan suhu ini malah diturunkan dari 2 menjadi 1,50 C. Artinya kenaikan suhu global harus diupayakan maksimal 1,50 C dibandingkan suhu rata sebelum revolusi industri. Hal ini kemudian memicu negara-negara di seluruh dunia untuk lebih serius lagi menangani perubahan iklim.

Apa yang telah, sedang dan akan dilakukan Indonesia?

Indonesia telah meratifikasi PA melalui UU16 tahun 2016. Artinya Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk turut memberikan kontribusi terhadap masalah perubahan iklim dunia. Komitmen para negara ini dituangkan dalam apa yang disebut dengan Nationally Determined Contribution (NDC). Menurut NDC Indonesia, dengan upaya sendiri sebesar 29% emisi GRK dari Indonesia akan diturunkan pada tahun 2030 dibandingkan dengan emisi tahun 2010 bila tidak melakukan upaya apa2 (Business as Usual –BAU). Target ini lebih besar lagi, yaitu sampai dengan 41% bila dilakukan dengan bantuan internasional. 

Untuk mencapai target tsb, pemerintah (cq Bappenas) telah merancang konsep Low carbon development (LCD) yang dituangkan dalam Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). PPRK akan menjadi bagian yang terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2020-2024, dan untuk mencapai tujuan2 pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDG). Tujuan PPRK pada hakekatnya menjaga pertumbuhan ekonomi tetap layak, dan diupayakan naik dan stabil, namun dengan emisi GRK yang rendah dan bahkan turun.

Tidak hanya Bappenas saja, tetapi Kementerian/Lembaga (K/L) lain melakukan upaya yang sama untuk mengejar target NDC. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menjadi Focal Point UNFCCC, misalnya telah banyak melakukan banyak hal terkait dengan upaya2 mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, mobilisasi pendanaan dan teknologi, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan pengelolaan  pengukuran, laporan, dan verifikasi aksi-aksi mitigasi, manajemen resiko bencana serta adaptasi perubahan iklim. Kementerian Keuangan aktif dalam pengembangan sistim fiscal  dan budget tagging untuk mendukung target NDC. Kementerian ESDM disibukkan dengan upaya-upaya pengembangan energi terbaharukan, konservasi energi dan energi efisiensi. Demikian pula Kementrian Perindustrian, Perhubungan, dan K/L lainnya semuanya sepakat untuk menurunkan emisi GRK.

Jejaring Indonesia Rendah Emisi (JIRE)

Pemerintah tentu tidak bisa melaksanakannya sendiri tanpa ada kerjasama dan bantuan dari masyarakat. Di dalam UNFCCC dikenal dengan istilah state and non-state actors. Non-state actors yang dimaksud adalah para pelaku usaha, LSM, akademisi, praktisi dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Kerjasama seperti ini sangat didorong untuk mencapai target penurunan emisi GRK yang ambisius dan menghidari kenaikan suhu rata-rata maksimum 1,50 C. Sebuah inisiatif yang dimunculkan oleh Yayasan Mitra Hijau, sebuah LSM yang bergerak dalam bidang perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon, adalah dengan mendirikan  Jejaring Indonesia Rendah Emisi (JIRE).

JIRE yang saat ini beranggotakan lebih dari 120 organisasi/individu, dan sepertiganya berasal dari para pelaku usaha ini diluncurkan pada bulan Februari 2019 oleh Menteri PPN/Ketua Bappenas. Melalui JIRE, gap komunikasi para pihak dengan pemerintah diharapkan dapat diperkecil.  Demikian pula akses terhadap informasi, pendanaan dan teknologi baik nasional maupun internasional menjadi lebih terbuka. Saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dapat dikembangkan melalui jejaring ini, baik dalam tingkat nasional, regional, maupun internasional.  Yang perlu dipahami adalah perlunya kondisi pemungkin untuk berkembangnya JIRE ke depan, yaitu leadership dan  kemauan politik yang kuat dari Pemerintah untuk saling terbuka dan berbagi dengan semua pihak yang berkepentingan dalam menghadapi isu-isu pemanasan global, perubahan iklim, dan pembangunan rendah karbon di Indonesia.

Semoga!

Oleh: Doddy S. Sukadri

Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau. Mantan negosiator perubahan iklim dalam bidang Alih Guna Lahan dan Kehutanan.